“Mata” Seorang Fotografer, Setajam Apa?
Dulu saya pernah mengatakan bahwa salah dua aspek menjadi fotografer
yang ahli adalah “selera” dan “standard”. Sebelum ini saya sudah
membahas selera. Kini saya akan coba membahas standard (niatnya sih
awalnya begini, tapi biasanya nanti makin ke belakang makin melebar ke
mana-mana. Siap-siap saja :D)
Apa sih yang dimaksud “standard”? Menurut kamus saya, standard
di sini maksudnya adalah “seketat apa kriteria suatu foto bisa dibilang
bagus”. Dengan kata lain, se”kejam” apa kita menilai suatu foto
(tentunya terutama foto kita sendiri! Namanya juga mau jadi jago, foto
sendiri dong yang harus ditingkatkan kualitasnya..), seteliti apa kita
melihat kelemahan suatu foto, dan seberapa “niat” kita untuk mengejar
kesempurnaan dan mengurangi kelemahan-kelemahan di foto kita.
Singkatnya, aspek standard ada dua: seberapa kritis kita menilai foto,
dan seberapa niat/berdedikasi kita untuk menghasilkan foto yang memenuhi
standar tsb.
Niat dan dedikasi sih jelas ya, tinggal bagaimana kita
termotivasi saja. Nah, sekarang coba kita bahas masalah “mata” yang
digunakan untuk menilai foto.
Apakah foto ini cukup kontras bagi Anda? Apakah vignettenya cukup rapi? Apakah garis-garis di latar belakang masih miring?
Apakah foto ini cukup kontras bagi Anda? Apakah vignettenya cukup rapi? Apakah garis-garis di latar belakang masih miring?
Sejujurnya, bagi saya sangat sulit untuk menjelaskan lebih detail
tentang standard ini. Kenapa? Karena standard ini bukan sesuatu yang
diterapkan sendirian, namun diterapkan pada konsep-konsep fotografi
(baik secara teknis ataupun seni/estetis) yang digunakan:
- Sudahkah frame lurus? (Atau lebih tepatnya: apakah kemiringannya sudah sesuai yang diinginkan?)
- Apakah background sudah diblur dengan tingkat yang pas? Apakah
background tidak mengganggu? Apakah obyek cukup kontras dengan
background?
- Apakah warna kulit sudah sesuai keinginan? Apakah
mata obyek terlihat sehat (tidak merah, sembab, atau mata panda,
misalnya), apakah gigi terlihat putih?
- Apakah ada chromatic
aberration? Apakah ada barrel distortion? Apakah ada vignetting (atau
lebih tepatnya: apakah tingkat vignettingnya sudah sesuai yang
diinginkan)?
- Apakah obyek sudah ditempatkan pada titik yang
paling seimbang (baik statis ataupun dinamis) secara komposisi? Apakah
tidak ada rasa “sumpek” dalam frame? Apakah tidak ada hal yang
diinginkan yang masih bisa di-crop/dibuang dari frame?
- Jika
otak kiri kita (yang mengenali obyek-obyek foto secara logis)
ditidurkan, dan kita melihat foto dengan otak kanan (sebagai warna,
garis, pola, kontras, tone, dsb.), apakah citra yang terbentuk sudah
enak dilihat? (Di foto bunga di atas, garis kotak-kotak latar
belakangnya membuat foto terlalu kaku bagi saya. Jika saja masih ada
ruang sisa di sekitar bunga, mungkin akan saya putar 15-20 derajat.)
Sebaliknya, jika otak kanan diacuhkan sejenak, apakah foto menyampaikan
pesan yang cukup berbobot? (Foto bunga di atas, misalnya.. Saya suka
dengan tonenya, tapi saya merasa foto tersebut hanya seperti “permen”:
enak dinikmati, namun tidak ada esensinya.)
dsb dsb dsb..
Jika saya melihat ke belakang, banyak sekali hal-hal yang dulu tidak
saya sadari. Dan melihat foto-foto yang saya ambil/edit dahulu, banyak
juga hal-hal yang ingin saya edit ulang karena dengan standar yang
sekarang foto tersebut terlihat jelek.
Baru beberapa hari yang
lalu saya ditegur orang yang mengatakan bahwa skin tone (warna kulit)
model di foto saya terlihat terlalu merah, dan giginya terlihat kurang
putih. Wah, ini hal baru! Sebelumnya saya bahkan tidak terpikir untuk
memastikan modelnya terlihat kinclong giginya. Skin tone pun, selama
tidak kelihatan kartun atau alien, masih oke lah. Sekarang, saya lebih
ketat memperhatikan dua hal tersebut. Masuk akal kan? Kita tidak bisa
meningkatkan kualitas foto kita di aspek-aspek yang bahkan tidak kita
sadari!
Nah, bagaimana cara menaikkan standar ini?
Kritik dari luar
Paling gampang (tapi mungkin agak nyesek) adalah dengan minta kritik
dari orang lain, terutama yang punya standard lebih tinggi dari kita,
paling tidak di genre/jenis fotografi tertentu. Dari masukan orang lain,
mungkin Anda bisa jadi menyadari sesuatu yang tadinya tidak Anda sadari
(misalnya: tingkat putihnya gigi), dan/atau meningkatkan standar
sehingga jadi lebih kritis (misalnya: warna kulit harus lebih kritis
lagi diperhatikan).
Mengamati proses kita pribadi menilai/menikmati foto
Saya tidak bisa menekankan seberapa pentingnya bagi fotografer untuk
sering melihat-lihat foto orang lain, terutama foto yang sudah banyak
diakui orang sebagai foto yang bagus (paling tidak di genre fotogafi
yang kita minati). Tentu bukan hanya melihat-lihat sekilas, tapi coba
pelankan proses Anda melihat-lihat foto tersebut, atau amati lebih detil
reaksi Anda.
Apa yang pertama menarik perhatian Anda? Ke mana
kah mata Anda pertama kali tertuju? Setelah itu ke mana? Apa yang
terlintas dalam benak Anda saat mata Anda “menjelajahi” foto? Apakah
foto tersebut foto yang simpel dan langsung ke intinya, ataukah foto
yang menyembunyikan sebuah “kejutan”? Apa yang dipikirkan oleh otak kiri
Anda, dan apa yang dilihat oleh otak kanan Anda? dsb dsb dsb..
Satu hal yang mungkin perlu saya ingatkan (terutama jika foto yang Anda
lihat adalah foto yang banyak diakui ahli sebagai foto bagus), adalah
untuk menahan dorongan untuk “men-judge”. Seringkali, sebagai
fotografer, timbul keinginan untuk menilai sang fotografer. “Oh, ininya
kurang begini nih, sedangkan itunya terlalu begitu..” Jika sedang
belajar, simpan dulu saja penilaian tersebut. Yang penting, amati
bagaimana reaksi kita terhadap foto tersebut, dan apa saja yang kita
sukai (dan tidak sukai).
Eksperimen
Terutama jika Anda
menggunakan kamera digital, hampir tidak ada biaya yang dikeluarkan jika
Anda memotret satu obyek lebih dari satu (atau sepuluh) kali. Coba
angle baru. Coba misfokus. Coba underexpose, coba overexpose. Coba
gunakan manual focus dan sengaja tetapkan fokusnya di belakang obyek.
Coba di depan obyek.
Begitu pula saat post-processing/olah
digital. Coba B&W. Coba sepia. Coba naikkan kontrasnya. Coba
turunkan. Coba bermain dengan tools ini-itu. Coba beri pinggiran/pigura
pada foto Anda, apakah berbeda rasanya? dsb dst..
Bukan berarti
Anda harus selalu bereksperimen lho ya. Cape juga kalau semua hal harus
dicoba ke semua foto/obyek. Yang penting jangan kungkung rasa “iseng”
dalam diri Anda, jika ada rasa penasaran dan ingin mencoba hal baru,
coba saja!
Meminta saran ke orang lain berarti Anda berkembang
dengan mengadopsi standard orang lain (tidak ada salahnya sih).
Mengamati respon terhadap foto orang lain berarti mengadopsi standard
yang dipicu oleh sesuatu yang sudah dicoba orang lain. Melalui
eksperimen lah Anda bisa mengadopsi standard yang belum
terpikirkan/dicoba oleh orang lain
Pendidikan
Tentu saja, Anda bisa ikut seminar atau kursus atau baca buku.. atau baca blog